Tak terasa sudah
7 hari Kepergian Papa,..
Meski aku hanya
menantu, tapi aku merasa kehilangan terlebih suami ku anak bungsu.
Tak terbayang
bagaimana nantinya suami ku mampu melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan
bersama papa,...
Masih teringat
jelas bagaimana beliau bertanya pada ku di telpon selasa pagi itu menanyakan
apakah aku ikut pulang bersama suami, tapi aku belum bisa pulang karena belum
bisa cuti.
Tak seperti
biasanya pun, berulang kali suami mengajak ku untuk pulang tapi aku menolak
karena bila terlalu banyak izin cuti tak diberikan izin.
Jum'at pagi
suami ku menelpon, ku tanya kan kapan pulang, sehabis jum'atan begitu jawab
nya.
Aku sudah
mempersiapkan makanan untuk suami dan menanti nya dirumah.
Setelah sholat
maghrib suami ku sampai rumah, rasanya rindu sekali 3hari tak bertemu, namun
ketika sabtu pagi pukul setengah tiga, mama mertua ku menelpon, aku rasa cemas,
mengapa beliau menelpon selarut ini, dan benar saja itu berita buruk, aku tak
begitu mendengar, hanya saja yang sempat ku dengar, mama mengatakan sabar nak,
ketika suami ku menutup telpon langsung saja menyuruh ku berkemas baju untuk
segera pulang ke Manna, aku tak berani menanyakan apa yang terjadi aku segera
berkemas dan kami segera berangkat. Ku lihat raut cemas dari wajah suami ku,
aku bingung, dan aku pun takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Jarak Curup
Kepahiang ditempuh hanya dengan 15 menit dari waktu tempuh normal 45 menit,
hanya berhenti untuk membeli air minum. Ku lihat jam ditoko itu jam 3 lewat 10
menit, aku berpikir jam 8 akan sampai Manna.
Kami kembali
melanjutkan perjalanan, diperjalanan suami mendapat telpon, kali ini dari
tetangga sebelah rumah menanyakan sudah sampai mana dan suami ku bertanya
tentang keadaan Papa mertua ku. Suami ku makin kencang mengendarai mobil dan
telpon kembali, kali ini suami ku sempat mendengar ada suara menangis diujung
telpon, dan benar saja, mendapat kabar Papa mertua ku sudah meninggal. Tangis
ku pun pecah tanpa bersuara, ku pandangi wajah suami ku, ku lihat duka yang
tersimpan sampai akhirnya dengan kuat ia mengatakan "ndiak diaw agi papa
kito yank" (sudah tak ada lagi papa kita yank) Rasanya tubuh ku
bergetar, aku tak bisa berkata apa-apa. kembali ku lihat suami ku yang terus
mengendarai mobil dengan kecepatan tidak kurang dari 100 Km/jam sambil
mengucapkan "laillahhaillaullah". Sempat suami ku berkata mengapa
Papa harus pergi, apakah tak ingin melihat anak kami. Hati ku terasa
sakit sekali mendengarnya, aku tau betapa ingin beliau melihat anak dari suami
ku, tapi entah kenapa Allah belum memberikan nya.
Jarak tempuh
yang dalam waktu normal 2 jam, kami tempuh dengan 1 jam dan bersiap menuju Kota
Manna, sesekali aku mendengar suami ku mengatakan kalau papa masih ada, tidak
mungkin meninggalkan nya. aku tidak tau harus berbuat apa, aku hanya bisa
menangis. Mungkin suami ku hanya mencoba untuk menguatkan hati nya.
Hari telah
terang, pukul 6 suami menuruh ku untuk menghubungi orang tua ku dan juga Mas
Jujun yang sudah kami anggap keluarga. Hampir setiap kali ku lihat wajah suami
ku, rasa nya sedih itu dibendung nya. Kami sampai di Kota Manna, Kota kelahiran
suami ku, segera menuju rumah. Ku katakan bahwa lebih baik lewat belakang,
namun perkataan ku tak diindahkan, suami ku tetap ingin lewat depan, dan benar
saja ndidepan rumah, orang telah ramai memasang tenda, melihat itu suami ku
langsung loncat dari mobil meninggalkan aku, dan aku harus meminta bantuan
sesorang untuk memarkirkan mobil dan aku menyusul suami ku masuk ke rumah. Lemas
dan rasa habis tenaga ku melihat jasad Papa mertua ku, ku lihat Mama begitu
tenang disamping nya. Aku melihat suami ku menangis di sudut ruangan itu, ia
meraung sambil memeluk mama. Dan Mama dengan tenang mencoba menyabarkan suami
ku. Aku tau, begitu kehilangan nya suami ku, aku tau betapa dekat suami ku
dengan Papa. Tak terbayang rasanya, bagaimana nanti nya suami ku bisa
melanjutkan kehidupan karena ia hanya menurut pada Papa, apakah ia masih mau
hidup bersama ku. Pikiran itu sempat hadir dalam benak ku, karena pernah suami
ku berkata kalau Papa Mati aku mati juga, begitu katanya.
Sempat ku buka
kain penutup itu, ku ingin melihat wajah Papa, begitu tenang dan tersenyum,
sakit rasa nya melihat beliau begitu cepat meninggalkan kami. Aku belum sempat
memberi beliau cucu, mungkin ada tingkah ku yang beliau tidak suka. Tapi beliau
orang baik, beliau tidak pernah membedakan anak dan menantu, dan aku pun tau,
papa pun sayang pada ku.
Ku hapus air
mata ku, ku tinggalkan suami ku, aku menuju ke dapur, didapur pun ramai, para
ibu-ibu mulai sibuk masak dan menyiapkan tempat untuk memandikan. Aku mencari
ayuk ipar ku, dan aku kembali menangis ketika aku memeluknya. Mungkin ayk ipar
ku juga merasakan duka seperti ku, namun meski kami hanya menantu, kami tetap
menyayangi papa karena kami pun tau papa juga menyayangi kami, meski aku belum
memberinya cucu. Aku segera mandi dan duduk disamping mama. Aku semakin tidak
tahan karena setiap orang yang datang dan membuka kain penutup itu menangis dan
aku pun ikut menangis. Suami ku masih menangis dan seperti nya belum bisa
menerima kepergian papa. Ketika suami ku
sedikit tenang, ia ingin mandi dan menggganti baju, aku mengikuti nya kekamar,
dan ia kembali menangis, ku peluk ia, dan aku mencoba untuk menguatkan nya.
Kami menanti Wa
( Ayk tertua perempuan ) sampai dari palembang, karena sehabis sholat dzuhur
ingin menguburkan papa.
Aku duduk
didapur bersama ayk ipar ku, kami bercerita bagaimana papa mengeluh sakit dada
pada pukut 1 dan minta dibawa ke RS. Begitu hebatnya serangan jantung itu,
tanpa gejala apa pun bisa membuat seseorang kehilangan nyawa, seperti papa
kami.
Ada suami tangis
heboh kami dengar dari depan, ku pikir itu wa, ternyata itu keluarga dari
bengkulu, adik-adik papa seperti mau pingsang, menangis meraung-raung. Melihat mereka
aku kembali meneteskan air mata ku, dan ketika Wa sampai, suasana makin haru,
mungkin dijalan pun wa sudah menangis, karena begitu sampai ku lihat ia begitu
lemas. Kami semua makin merasa sedih ketika wa mengatakan “pa buka pintu pa,
aku balik” dan kalimat itu berulang-ulang, kami kian larut dalam kesedihan, ku
lihat keponakan-keponakan ku menagis histeris melihat datuk mereka, karena
mereka begitu dekat dengan Papa. Aku selalu mencari wajah suami ku, ku lihat ia
mencoba menenangkan wa. Aku melihat, suami ku mencoba untuk kuat dan ikhlas,
aku lihat guratan sedih yang mendalam diwajahnya. Aku tak berani berkata
apa-apa. Kami menghantarkan Papa ke tempat istirahat terakhir. Duka itu kian
tampak, teman-teman mengucapkan belasungkawa dan kata sabar dan ikhlaslah yang
mereka katakan.
Pa,.... Maaf
mungkin indah banyak salah dengan Papa.
Indah belum bisa
menjadi Anak Menantu yang baik bagi Papa, dan Maaf indah belum kasih Papa Cucu,...
Tapi indah
selalu berdo’a, ALLAH melapangkan Jalan Papa dan Papa di Tempatkan di Tempat
yang Terbaik di sisi Nya.
Indah tau, dari
jauh pun Papa bisa melihat Efran dan Indah,...
Ntah bagaimana
rasa nya, memang orang baik begitu cepat Allah jemput.
Air mata ku
selalu menetes tiap kali membaca status-status suami ku difacebook, aku tau ia
begitu kehilangan sosok orang yang
begitu penyayang dan pengertian.
Dibalik luka
itu, ia sudah bisa tertawa dan bercanda, itu membuat ku sedikit lega.
Ikhlas ya sayang,...
Ini jalan Terbaik untuk Papa,...
Selamat Jalan Pa, Do’a kami selalu menyertai mu,....